Selasa, 18 Mei 2010

Jogjakarta

1 Mei 2009

Jogjakarta merupakan salah satu bagian daerah dari pulau Jawa,yang memiliki sejuta keunikan.Selama disana kami mengunjungi tempat-tempat wisata seperti kraton Jogja,Malioboro Candi Borobudur,Candi Pambanan,Dieng serta Baturraden.Jogjakarta dengan alamnya yang indah serta udaranya yang sejuk membuat nyaman para pengunjungnya.Ditambah dengan masyarakatnya yang ramah serta berbahasa lembut semakin lengkaplah keindahan dari Jogjakarta. Walaupun banyak juga yang tidak dimengerti terutama mengenai bahasa yang mereka gunakan.
Jogjakarta identik dengan pelajar,Malioboro serta kehidupan Kratonnya.Kota dimana para pelajar menuntut ilmu,disana lahirlah banyak pelajar-pelajar berhasil dengan segudang prestasi.
Malioboro adalah surganya bagi para pecinta batik.Berbagai model batik dengan coraknya ada disana.Apalagi disaat malam hari banyak anak-anak muda yang menjadikannya sebagai tempat tongkrongan.Alasan mereka karena banyak nya warung lesehan yang menjajakan makanan khas Jogjakarta dengan harganya yang murah.Tetapi warung lesehannya berbeda dengan yang ada di Jakarta karena disana tidak menggunakan kursi untuk tempat duduknya tapi menggunakan tikar yang digelar. Untuk harga batik kalian harus pintar menawar untuk mendapatkan harga termurah.

Minggu, 07 Maret 2010

Mengukuhkan Pendidikan untuk Anak Jalanan

Oleh Anna Mariana

Terungkapnya kasus mutilasi yang dilakukan Babe, sangat menyayat hati. Pasalnya, yang menjadi korban anak-anak yang semestinya masih merasakan nikmatnya belajar di sekolah ataupun asyiknya bermain bersama teman-teman sebayanya.

Lebih dari sepuluh anak jalanan (anjal) yang tidak berdosa harus menjadi korban seorang lelaki, sang pembunuh berdarah dingin. Lelaki itu “telah mengakhiri” keceriaan anak-anak. Anjal --lagi-lagi berada pada posisi yang memerlukan perhatian semua pihak-- tak terkecuali masyarakat pendidikan. Sementara itu pada saat bersamaan, mereka seolah dianggap sebagai kaum yang termarginalkan, yang hanya “merusak” jalanan.

Kawanan anak jalanan adalah anak usia sekolah (6-18 tahun), yang tidak sekolah ataupun telah putus sekolah. Ironisnya, mereka terpaksa bekerja di jalanan. Sebuah dunia yang sangat membahayakan bagi usia mereka. Mulai dari ancaman tindak kejahatan, kekerasan, kecelakaan, bahaya kesehatan (polusi dan udara), sengatan matahari secara langsung ataupun guyuran hujan. Pendek kata, sangat mengganggu perkembangan fisik, psikologis, emosional, bahkan moral mereka.

Lantas, siapakah yang bertanggung jawab atas kehidupan pendidikan mereka? Konsep dan langkah seperti apakah yang tepat bagi mereka?

Meningkatnya populasi anak telantar jalanan dari tahun ke tahun, mengisyaratkan bahwa perhatian terhadap mereka tidak kunjung nyata. Mereka seperti ditakdirkan untuk menderita dan menanggung kemasygulan demi kemasgulan dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan sunyi dari perhatian komponen masyarakat. Salah satu bidang itu adalah hak mengenyam pendidikan.

Padahal, hal itu telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat 2, yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah dengan Program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun, dan dioperasionalkan dengan kewajiban bersekolah bagi anak bangsa minimal selesai SLTP. Sesuai dengan UU Sisdiknas, pemerintah berkewajiban menyediakan sarana-prasarana yang dibutuhkan bagi suksesnya program tersebut. Lalu, bagaimana dengan anjal?

Anjal adalah sosok-sosok anak yang harus segera dikembalikan pada posisi semula. Sebagai anak dengan segala hak dan pemenuhan kebutuhannya untuk diberi kasih sayang dan dilindungi. Mereka pun sama-sama sebagai masyarakat Indonesia yang berhak mengenyam pendidikan. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mereka, yaitu:

Pertama, menjain kemitraan dengan keluarga anak jalanan. Karena bagaimana pun juga, anak-anak ini masih berada dalam tanggung jawab orang tuanya (bagi yang masih memiliki orang tua. Jika tidak, hubungi sanak saudaranya).

Kedua, pemerintah menyediakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) khusus anak jalanan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) membuat kantung-kantung belajar di terminal ataupun di tempat lain yang mudah terjangkau.

Ketiga, memfasilitasi dengan beragam keterampilan dan sarana. Jika merasa senang dengan mengamen, fasilitasi dengan sarana yang mendukung seni musiknya sehingga nyaman dinikmati publik. Jika ahli dalam menyemir, fasilitasi dengan sarana yang menjadikan usaha menyemirnya agar lebih bernilai.

Keempat, mengarahkan cita-cita mereka. Mengingat tujuan hidup sangat penting bagi jiwa setiap individu, maka harus terus diprovokasi. Mereka harus terus ditanamkan semangat perubahan, takwa sebagai landasan utama, berpikir dan berjiwa besar. Bekerja keras, percaya diri, tekun, tidak pesimis, dll. Pendidikan immaterial ini akan mampu membangun kualitas jiwa anak telantar.

Beberapa langkah di atas, semoga dapat menjawab problematika anak jalanan. Terutama, menyangkut pendidikannya yang secara nisbi membutuhkan kasih sayang, pendidikan keterampilan, dan pendidikan immaterial.***

Penulis, guru TPA Al-Hanif Cimahi.

Potret kehidupan anak jalanan di jakarta

INILAH.COM, Jakarta - Siklus hidup anak jalanan sepertinya telah menjerat mereka untuk terus berkubang di dunia jalanan yang kelam itu. Sejak lahir dan dalam gendongan mereka sudah mengamen, sewaktu bayi mereka dimanfaatkan untuk memancing rasa iba para dermawan.

Umur balita ketika mereka sudah bisa berjalan dan mengoceh, mereka mengamen membawa kecrekan dari tutup botol.

Selesai masa balita, mereka mengamen dengan membawa gitar kecil atau ukulele. Mereka dieksplotasi oleh orang taunya sendiri atau preman, yang mengasuh mereka untuk mendulang uang.

Sebut saja Deni (7), seorang anak yang biasa berkeliaran di perempatan Cempaka Mas Jakarta Timur. Setiap hari dia mengamen di antara sela-sela mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah. Sementara dia mengamen, orang tuanya yang berjualan asongan mengawasi di pinggir jalan.

Jika sudah sore, bocah itu akan pulang bersama orang tuanya. Di rumah, dia akan dimandikan bersih, dibaluri minyak kayu putih, dipijat, dan dilayani dengan baik oleh orang tuanya. Dia adalah anak semata wayang, aset berharga keluarga itu. Jika sampai sakit maka akan hilanglah penghasilan keluarga itu.

Menurut penuturan Peneliti Pusat Data dan Pelaporan KPAI Budi Prabowo, masih banyak anak-anak yang mengalami nasib seperti Deni. Anak-anak itu dieksploitasi, disuruh mengemis atau mengamen. Hasilnya

disetorkan pada orangtuanya.

Sementara anak-anak mengamen, orangtuanya mengawasi mereka di pinggir jalan. Mereka adalah orangtua yang mengeksploitasi anak.

“Logika yang dipakai oleh orangtua bejat itu, biasanya adalah keterdesakan ekonomi. Daripada ngojek atau bekerja kasar yang sehari hanya dapat 20ribu, lebih baik megeksploitasi anak sendiri sehari bisa dapat 40-50 ribu,” tutur Budi mengutarakan kegeramannya di Jakarta, Selasa (26/1).

Baru pada usia d iatas dua belas tahun, di ambang masa remaja anak-anak itu berani kabur untuk bergabung dengan komunitas grup anak jalanan sebaya mereka. Selepas dari keluarga inilah, seorang anak jalanan akan bertindak semau mereka.

Di usia remaja itu, mereka sudah mencicipi seks bebas dan narkotika. “Maka tak heran, jika di negara lain jumlah pengidap HIV/AID menurun, di Indoensia justru sebaliknya malah meningkat.” terang Budi Prabowo.

Selain mendapat kebebasan, mereka pun akan menghadapi kekerasan dari sebayanya atau dari preman yang lebih senior. Yang paling banyak menderita kekerasan itu adalah anak jalanan perempuan. Mereka rentan mengalami pelecehan seksual.

Hasil penelitian dari Bagian Data dan Pelaporan Komisi Perlindungan Anak Indoensia (KPAI) yang dirangkum dari publikasi lima media massa nasional pada tahun 2009 menunjukkan ada 616 anak yang menjadi korban kekerasan. Laki-laki 274 orang atau 44,5 % dan perempuan 342 orang atau 55,5 %.

Yang paling banyak menderita akibat kasus kekerasan itu adalah usia 15-18 tahun sebanyak 333 orang yang terdiri dari perempuan 195 dan laki-laki 138.

Jenis kekerasan dari 18 jenis kekerasan, yang sangat marak menimpa mereka adalah traficking sejumlah 12,7 % dan penganiayaan 12,5%. Sementara kasus pedofilia hanya berjumlah 1,9%.

“Pemerintah harus memikirkan masalah ini juga, jangan hanya terfokus pada masalah Bank Century. Dengan pendidikan dan pengawasan, kependudukan siklus setan ini bisa dipotong,” tandas Budi. [bar]

Kamis, 04 Maret 2010

Pengertian anak jalanan


Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak.Ditengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan anak jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu children on the street dan children of the street. Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu children in the street atau sering disebut juga children from families of the street.

Pengertian untuk children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

Children of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya.

Children in the street atau children from the families of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan.