Minggu, 07 Maret 2010

Mengukuhkan Pendidikan untuk Anak Jalanan

Oleh Anna Mariana

Terungkapnya kasus mutilasi yang dilakukan Babe, sangat menyayat hati. Pasalnya, yang menjadi korban anak-anak yang semestinya masih merasakan nikmatnya belajar di sekolah ataupun asyiknya bermain bersama teman-teman sebayanya.

Lebih dari sepuluh anak jalanan (anjal) yang tidak berdosa harus menjadi korban seorang lelaki, sang pembunuh berdarah dingin. Lelaki itu “telah mengakhiri” keceriaan anak-anak. Anjal --lagi-lagi berada pada posisi yang memerlukan perhatian semua pihak-- tak terkecuali masyarakat pendidikan. Sementara itu pada saat bersamaan, mereka seolah dianggap sebagai kaum yang termarginalkan, yang hanya “merusak” jalanan.

Kawanan anak jalanan adalah anak usia sekolah (6-18 tahun), yang tidak sekolah ataupun telah putus sekolah. Ironisnya, mereka terpaksa bekerja di jalanan. Sebuah dunia yang sangat membahayakan bagi usia mereka. Mulai dari ancaman tindak kejahatan, kekerasan, kecelakaan, bahaya kesehatan (polusi dan udara), sengatan matahari secara langsung ataupun guyuran hujan. Pendek kata, sangat mengganggu perkembangan fisik, psikologis, emosional, bahkan moral mereka.

Lantas, siapakah yang bertanggung jawab atas kehidupan pendidikan mereka? Konsep dan langkah seperti apakah yang tepat bagi mereka?

Meningkatnya populasi anak telantar jalanan dari tahun ke tahun, mengisyaratkan bahwa perhatian terhadap mereka tidak kunjung nyata. Mereka seperti ditakdirkan untuk menderita dan menanggung kemasygulan demi kemasgulan dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan sunyi dari perhatian komponen masyarakat. Salah satu bidang itu adalah hak mengenyam pendidikan.

Padahal, hal itu telah dijamin oleh UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat 2, yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah dengan Program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun, dan dioperasionalkan dengan kewajiban bersekolah bagi anak bangsa minimal selesai SLTP. Sesuai dengan UU Sisdiknas, pemerintah berkewajiban menyediakan sarana-prasarana yang dibutuhkan bagi suksesnya program tersebut. Lalu, bagaimana dengan anjal?

Anjal adalah sosok-sosok anak yang harus segera dikembalikan pada posisi semula. Sebagai anak dengan segala hak dan pemenuhan kebutuhannya untuk diberi kasih sayang dan dilindungi. Mereka pun sama-sama sebagai masyarakat Indonesia yang berhak mengenyam pendidikan. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mereka, yaitu:

Pertama, menjain kemitraan dengan keluarga anak jalanan. Karena bagaimana pun juga, anak-anak ini masih berada dalam tanggung jawab orang tuanya (bagi yang masih memiliki orang tua. Jika tidak, hubungi sanak saudaranya).

Kedua, pemerintah menyediakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) khusus anak jalanan bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) membuat kantung-kantung belajar di terminal ataupun di tempat lain yang mudah terjangkau.

Ketiga, memfasilitasi dengan beragam keterampilan dan sarana. Jika merasa senang dengan mengamen, fasilitasi dengan sarana yang mendukung seni musiknya sehingga nyaman dinikmati publik. Jika ahli dalam menyemir, fasilitasi dengan sarana yang menjadikan usaha menyemirnya agar lebih bernilai.

Keempat, mengarahkan cita-cita mereka. Mengingat tujuan hidup sangat penting bagi jiwa setiap individu, maka harus terus diprovokasi. Mereka harus terus ditanamkan semangat perubahan, takwa sebagai landasan utama, berpikir dan berjiwa besar. Bekerja keras, percaya diri, tekun, tidak pesimis, dll. Pendidikan immaterial ini akan mampu membangun kualitas jiwa anak telantar.

Beberapa langkah di atas, semoga dapat menjawab problematika anak jalanan. Terutama, menyangkut pendidikannya yang secara nisbi membutuhkan kasih sayang, pendidikan keterampilan, dan pendidikan immaterial.***

Penulis, guru TPA Al-Hanif Cimahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar