INILAH.COM, Jakarta - Siklus hidup anak jalanan sepertinya telah menjerat mereka untuk terus berkubang di dunia jalanan yang kelam itu. Sejak lahir dan dalam gendongan mereka sudah mengamen, sewaktu bayi mereka dimanfaatkan untuk memancing rasa iba para dermawan.
Umur balita ketika mereka sudah bisa berjalan dan mengoceh, mereka mengamen membawa kecrekan dari tutup botol.
Selesai masa balita, mereka mengamen dengan membawa gitar kecil atau ukulele. Mereka dieksplotasi oleh orang taunya sendiri atau preman, yang mengasuh mereka untuk mendulang uang.
Sebut saja Deni (7), seorang anak yang biasa berkeliaran di perempatan Cempaka Mas Jakarta Timur. Setiap hari dia mengamen di antara sela-sela mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah. Sementara dia mengamen, orang tuanya yang berjualan asongan mengawasi di pinggir jalan.
Jika sudah sore, bocah itu akan pulang bersama orang tuanya. Di rumah, dia akan dimandikan bersih, dibaluri minyak kayu putih, dipijat, dan dilayani dengan baik oleh orang tuanya. Dia adalah anak semata wayang, aset berharga keluarga itu. Jika sampai sakit maka akan hilanglah penghasilan keluarga itu.
Menurut penuturan Peneliti Pusat Data dan Pelaporan KPAI Budi Prabowo, masih banyak anak-anak yang mengalami nasib seperti Deni. Anak-anak itu dieksploitasi, disuruh mengemis atau mengamen. Hasilnya
disetorkan pada orangtuanya.
Sementara anak-anak mengamen, orangtuanya mengawasi mereka di pinggir jalan. Mereka adalah orangtua yang mengeksploitasi anak.
“Logika yang dipakai oleh orangtua bejat itu, biasanya adalah keterdesakan ekonomi. Daripada ngojek atau bekerja kasar yang sehari hanya dapat 20ribu, lebih baik megeksploitasi anak sendiri sehari bisa dapat 40-50 ribu,” tutur Budi mengutarakan kegeramannya di Jakarta, Selasa (26/1).
Baru pada usia d iatas dua belas tahun, di ambang masa remaja anak-anak itu berani kabur untuk bergabung dengan komunitas grup anak jalanan sebaya mereka. Selepas dari keluarga inilah, seorang anak jalanan akan bertindak semau mereka.
Di usia remaja itu, mereka sudah mencicipi seks bebas dan narkotika. “Maka tak heran, jika di negara lain jumlah pengidap HIV/AID menurun, di Indoensia justru sebaliknya malah meningkat.” terang Budi Prabowo.
Selain mendapat kebebasan, mereka pun akan menghadapi kekerasan dari sebayanya atau dari preman yang lebih senior. Yang paling banyak menderita kekerasan itu adalah anak jalanan perempuan. Mereka rentan mengalami pelecehan seksual.
Hasil penelitian dari Bagian Data dan Pelaporan Komisi Perlindungan Anak Indoensia (KPAI) yang dirangkum dari publikasi lima media massa nasional pada tahun 2009 menunjukkan ada 616 anak yang menjadi korban kekerasan. Laki-laki 274 orang atau 44,5 % dan perempuan 342 orang atau 55,5 %.
Yang paling banyak menderita akibat kasus kekerasan itu adalah usia 15-18 tahun sebanyak 333 orang yang terdiri dari perempuan 195 dan laki-laki 138.
Jenis kekerasan dari 18 jenis kekerasan, yang sangat marak menimpa mereka adalah traficking sejumlah 12,7 % dan penganiayaan 12,5%. Sementara kasus pedofilia hanya berjumlah 1,9%.
“Pemerintah harus memikirkan masalah ini juga, jangan hanya terfokus pada masalah Bank Century. Dengan pendidikan dan pengawasan, kependudukan siklus setan ini bisa dipotong,” tandas Budi. [bar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar